Tuesday, November 23, 2010

Sekadar Selamat Tinggal?


Kamu diam lagi. Aku menunduk, melarutkan diri dalam diam mu. Cukup rasanya aku bersuara, berusaha memperbaiki yang ku fikir masih bisa diperbaiki. Semua usaha yang hanya dibalas diam mu.

Tahukah kamu, wanita selalu perlu diyakinkan. Kami, para wanita, ibarat perahu yang butuh nakhoda untuk mengarahkan pelayaran. Arah perahu ini tergantung pada kamu, si jejaka, sang nahkoda.

Tapi lihatlah aku. Aku ini perahu yang dibiarkan terombang-ambing oleh sang nahkoda yang sibuk ragu-ragu dalam diamnya. Nahkoda yang membiarkan perahunya dipermainkan angin. Aku lelah terumbang-ambing di tengah lautan, perjalanan ini membuatku sangat lelah.

Aku bahkan tak tahu kemana tujuanmu wahai nahkoda. Mengapa kau bawa aku berlayar jika kau bahkan tak tahu kemana kau hendak mengarah. Dan jika kau tak bisa menentukan tujuan, bisakah paling tidak kau hantar aku kembali ke pelabuhan, tambatkan aku di sana, lalu pergilah. Tapi tak juga kau tambatkan aku di pelabuhan. Kau tetap memilih terombang-ambing di tengah lautan.

Aku heran bagaimana kau bisa terdiam begitu lama. Aku lelah dengan diammu. Tak perlu kau tunda kecewaku. Karena kecewa yang ditunda ini justeru terasa semakin menyiksa. Katakanlah sekarang, jika aku memang bukan lagi perahu yang ingin kau nahkodai, bukan nama yang mengisi relung hatimu. Kau tahu, aku tak pernah memaksa.

Kamu tetap diam dan menunduk. Ini sudah berakhir, itu arti diammu. Seperti janjiku, takkan kupaksa kau untuk tinggal. Tapi aku tak puas dengan diammu. Jadi sebelum kau berbalik, bisakah paling tidak kau katakan sesuatu? Karena aku tak mau ini berakhir tanpa kata-kata.

Sekedar selamat tinggal mungkin?

2 comments:

wongendeng said...

tidak sekali-kali meninggalkan mu dan membiarkan mu...

admin said...

tidak